TSGoTUr6TpriGpWpGSd0GUdoBA==

Form

Comment

Pertambangan dalam Bayang-Bayang Negara Hukum: Antara Kedaulatan Rakyat dan Dominasi Korporasi

Posted by:Tanya Hukum

 


Oleh Bung Ajad Sudrajat

 Pertambangan merupakan salah satu sektor strategis yang memiliki peran besar dalam pembangunan ekonomi nasional. Mineral dan batubara, minyak dan gas, serta sumber daya tambang lainnya adalah aset negara yang bernilai tinggi sekaligus menjadi tulang punggung energi dan industri. Namun, di balik signifikansi ekonominya, pertambangan menyimpan dilema hukum yang kompleks: bagaimana memastikan bahwa kekayaan alam benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sementara pada kenyataannya, praktik pengelolaan pertambangan sering kali dikuasai oleh kepentingan korporasi besar, bahkan terkadang dengan mengorbankan kedaulatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.

 

Konstitusi Indonesia menempatkan sumber daya alam sebagai objek penguasaan negara untuk kepentingan rakyat. Notonagoro menegaskan bahwa hak menguasai negara bukan berarti negara memiliki sumber daya secara absolut, melainkan negara diberi mandat untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi penggunaannya agar kemanfaatannya benar-benar dirasakan seluruh rakyat. Namun, dalam kenyataan empiris, regulasi pertambangan lebih sering berpihak pada logika pasar dan investasi, bukan pada perlindungan hak-hak dasar masyarakat.

 

Teori negara hukum (rechtsstaat) yang diperkenalkan oleh Friedrich Julius Stahl dan kemudian diadopsi dalam sistem hukum Indonesia, menekankan bahwa negara wajib membatasi kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, dan menegakkan supremasi hukum. Dalam konteks pertambangan, hal ini berarti negara wajib mengontrol kegiatan pertambangan agar tidak menimbulkan ketidakadilan sosial, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran HAM. Tetapi realitas menunjukkan adanya ketegangan permanen antara “negara hukum” dengan “negara tambang,” di mana kekuasaan hukum sering dikompromikan demi akumulasi kapital korporasi.

 

Pertambangan sebagai Lokus Konflik Hukum

 

Pertambangan adalah salah satu sektor yang paling banyak melahirkan konflik hukum. Pertama, konflik konstitusional, di mana tafsir terhadap Pasal 33 UUD 1945 seringkali direduksi hanya pada aspek ekonomi dan investasi, sementara aspek kemakmuran rakyat diabaikan. Kedua, konflik regulasi, yakni tumpang tindih aturan antara UU Minerba, UU Kehutanan, UU Lingkungan, dan tata ruang. Ketiga, konflik sosial-hukum, di mana masyarakat adat, petani, dan nelayan seringkali berhadapan dengan korporasi tambang yang didukung legitimasi izin negara.

 

Kasus-kasus di Sulawesi Tenggara, Kalimantan, hingga Papua menunjukkan pola yang sama: eksploitasi tambang berujung pada kerusakan ekologi, hilangnya akses masyarakat terhadap sumber penghidupan, dan meningkatnya kesenjangan sosial. David Harvey dalam konsep accumulation by dispossession menyebut fenomena ini sebagai perampasan akumulatif, di mana modal menguasai tanah dan sumber daya dengan justifikasi hukum negara. Artinya, hukum tidak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan instrumen legitimasi bagi dominasi modal.

 

Hukum Pertambangan dan Oligarki

 

Banyak ahli hukum tata negara, seperti Jimly Asshiddiqie dan Saldi Isra, menyoroti bahwa regulasi pertambangan di Indonesia rawan ditunggangi oligarki politik dan ekonomi. Proses legislasi UU Minerba 2020, misalnya, menunjukkan kuatnya intervensi kepentingan bisnis dalam pembuatan kebijakan. Hal ini mengafirmasi teori state capture dalam hukum ekonomi politik, di mana negara kehilangan independensinya karena dikooptasi oleh kelompok kepentingan tertentu.

 

Padahal, dalam konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh Gro Harlem Brundtland (1987), pertambangan harus diposisikan sebagai sektor yang memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanpa keberlanjutan, pertambangan hanya meninggalkan jejak kerusakan dan ketidakadilan antar-generasi.

 

Negara Hukum dan Kedaulatan Rakyat

 

Jika ditinjau dari perspektif Hans Kelsen dalam teori Reine Rechtslehre (teori hukum murni), norma dasar (grundnorm) dari hukum pertambangan Indonesia adalah konstitusi. Oleh karena itu, setiap aturan dan kebijakan pertambangan harus tunduk pada UUD 1945. Namun, dalam praktik, banyak kebijakan yang justru melanggar semangat konstitusi dengan lebih mementingkan kepentingan investasi dibanding rakyat.

 

Lebih jauh, Satjipto Rahardjo melalui teori hukum progresif menekankan bahwa hukum harus berpihak pada keadilan substantif, bukan hanya formalitas aturan. Dalam konteks pertambangan, hukum tidak boleh hanya menjadi kumpulan izin dan prosedur, melainkan harus hadir sebagai sarana pembebasan rakyat dari penindasan struktural akibat eksploitasi SDA.

 

Dengan demikian, pertambangan adalah arena ujian sejati bagi eksistensi negara hukum di Indonesia: apakah hukum benar-benar mampu menegakkan kedaulatan rakyat, atau justru menjadi alat legitimasi bagi dominasi korporasi?

 

Pertambangan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bayang-bayang tarik menarik antara kedaulatan rakyat dan dominasi korporasi. Secara normatif, konstitusi telah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, secara empiris, praktik pertambangan menunjukkan dominasi kapital yang seringkali mengorbankan kepentingan rakyat, merusak lingkungan, dan menegasikan prinsip negara hukum.

 

Opini hukum ini menegaskan beberapa poin kritis:

1.   Negara hukum harus menegaskan kedaulatannya. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan korporasi melalui regulasi dan kebijakan yang bias investasi. Supremasi hukum harus dijalankan dengan menempatkan rakyat sebagai subjek utama, bukan korban eksploitasi.

2.   Hukum pertambangan harus berorientasi pada keadilan sosial. Sebagaimana teori John Rawls tentang justice as fairness, distribusi manfaat pertambangan harus mengutamakan kelompok paling rentan: masyarakat lokal, adat, petani, dan nelayan.

3.   Kedaulatan rakyat harus menjadi ruh dari hukum pertambangan. Hak masyarakat untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945, tidak boleh dikompromikan oleh logika keuntungan korporasi.

4.   Penguatan penegakan hukum mutlak diperlukan. Praktik illegal mining, korupsi dalam perizinan, dan kejahatan lingkungan harus diproses dengan sanksi yang tegas dan tidak pandang bulu. Tanpa kepastian hukum, pertambangan akan terus menjadi ladang oligarki.

5.   Hukum progresif perlu diimplementasikan. Sebagaimana diajarkan Satjipto Rahardjo, hukum tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus menjadi sarana pembebasan dan keadilan substantif. Negara harus berani membela rakyat dalam menghadapi dominasi korporasi tambang.

 

Pada akhirnya, pertambangan adalah cermin sejauh mana negara hukum di Indonesia berjalan sesuai mandat konstitusi. Apabila negara terus membiarkan dominasi korporasi, maka negara hukum akan tereduksi menjadi “negara tambang.” Namun, jika negara menegakkan supremasi hukum, menjunjung keadilan sosial, dan mengembalikan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, maka pertambangan dapat menjadi instrumen kesejahteraan dan keberlanjutan.

 

Dengan demikian, pertambangan dalam bayang-bayang negara hukum harus diarahkan dari dominasi korporasi menuju kedaulatan rakyat. Sebab, hanya dengan jalan itu hukum benar-benar hadir sebagai panglima, rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, dan sumber daya alam sebagai anugerah Tuhan yang dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk segelintir kepentingan modal. (*)

 

0Comments

Special Ads
Special Ads
Special Ads