TSGoTUr6TpriGpWpGSd0GUdoBA==

Form

Comment

Kebimbangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 183/PUU-XXII/2024

Posted by:Tanya Hukum


 
Oleh :  Jamal Aslan

Dalam ius constitutum Indonesia, penegakan hukum ditopang oleh 4 (empat) pilar struktural yang lazim dikenali publik sebagai Aparat Penegak Hukum. Hakim, Jaksa Polisi dan Advokat bertalian sebagai elemen fungsional yang membangun sistem hukum yang apik demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari keempat struktur dimaksud, tiga diantaranya merupakan representasi negara sebagai pelaksana daulat hukum, sedangkan Advokat berdiri disisi dan dihadapan kepentingan pihak yang dianggap bersinggungan dalam pusaran konflik hukum tersebut. Officium Noblie, jabatan terhormat atau profesi mulia disematkan kepada Advokat. Bukan tanpa dalil, dalam kilas historis Eropa Kontinental warisan Romawi, nisbah tersebut didasarkan pada tanggungjawab sosial dan moral sebagai pemegang peran penjaga keadilan yang dibangun diatas keagungan etika profesinya. Advokat tegak menjalankan fungsi sebagai pembela atas kepentingan Justiciabelen, mengimbangi kecenderungan perspektif prinsip presumption of guilt (praduga bersalah) dalam kaidanya dengan presumption of innocence (preduga tak bersalah). Praktis, peran Advokat tidak lain sebagai instrument check and balances terhadap proses hukum yang ritmenya dijalankan penuh oleh struktur negara (Hakim, Jaksa dan Polsi). Advokat sebagai penjelmaan perlindungan hak asasi warga negara dimata hukum dan jalan keadilan substantif. Olehnya mengapa Advokat diidealkan mampu mengejawantahkan semangat kemandirian dan kemerdekaan sebagai payung konstitusional karakteristik kekuasaan kehakiman menurut UUD NRI Tahun 1945. 

Sedari beberapa hari kemarin, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 183/PUU-XXII/2024 menarik perhatian public, terkhusus advokat. Objectumlitis yang diuji secara materil terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam putusan ini ialah menyangkut pasal 28 ayat (3) UU No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang ringkasnya memohonkan untuk memperluas tafsir dan cakupan pemaknaan yang melingkupi pula “tidak merangkap sebagai perjabat negara”. Arah dalil ini menyasar pada fakta dimana terdapat Pimpinan salah satu organisasi advokat yang kini merangkap sebagai Wakil Menteri Koordinator dalam susunan Kabinet Pemerintahan. Singkatnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Dengan demikian pemaknaan terhadap pasal aquo ekspansinya mencangkup hingga pemaknaan “…dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara. Sontak temali perdebatan terhadap putusan tersebut mulai membentuk simpul-simpul pemikiran yang kompleks. 

Tak sedikit yang menganggap putusan aquo termanifestasi dengan karakteristik In kracht van gewijsde- final dan mengikat- sebagaimana Amanah konstitusi. Sejujurnya tak ada yang menyangkali atau bahkan berani menabrak pagar konstitusional putusan MK, namun apakah putusan tersebut dapat diberlakukan terhadap Ketua organisasi Advokat yang kini menjabat sebagai WamenKo? Belitan pemikiran inilah yang melilit pusaran diskusi perihal putusan ini, dan dalam rumusan tersebutlah tulisan ini digubah.


Advokat (dilarang) Rangkap Jabatan

Sebelum adanya Putusan 183/PUU-XXII/2024, perihal jabatan pimpinan organisasi advokat juga telah diputus melalui Putusan MK Nomor 91/PUU XX/2022 yang juga memuat konstruksi pemaknaan baru. Meskipun secara segmentatif tafsir putusan ini condong pada pembatasan masa jabatan, namun karena rumusan asli pasal 28 ayat (2) UU nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat ialah menunjuk langsung pada “batasan rangkap jabatan”, maka rumusan lengkap perihal jabatan Pimpinan Organisasi Advokat secara lengkap menjadi “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah”. Setelah adanya Putusan 183/PUU-XXII/2024, segmen struktur makna pasal 28 ayat (3) UU Advokat bertambah menjadi “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara”. Jika dicermati dalam Amar Pertimbangan Putusan aquo, dalil permohonan pemohom perihal larangan rangkap jabatan setidaknya didasarkan pada prinsip kemandirian pada organisasi advokat, upaya menghindari conflict of Interest guna menegaskan penjaminan equalitiy before the law, serta aspek berserikat dan berkumpul yang berkepastian dan adil. 

Singkatnya, pemohon mendalilkan bahwa potensi membiasnya Keputusan yang diambil oleh pimpinan organisasi advokat yang rangkap jabatan sebagai pejabat negara sehingga terjerambak pada potensi konflik kepentingan yang menguntungkan salah satu organisasi advokat dan merugikan organisasi advokat lainya perlu diproteksi melalui perumusan kepastian hukum perihal larangan pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara. Tidak saja itu, pimpinan organisasi advokat yang rangkap sebagai pejabat negara atau personal yang terlingkar dalam poros kekuasaan pemerintahan berpeluang menjurus pada distorsi terhadap konsistensi kemandirian advokat dari intervensi kekuasaan. Lebih dikhawatirkan lagi jika atas dasar pengaruh tersebut, advokat dapat saja dipaksa untuk bergabung dengan organisasi advokat tertentu yang relevan dengan keinginan pejabat negara tersebut. Padahal disisi lain, advokat mandiri dalam memilih organisasi yang menjadi tempat bernaungnya sebagai serikat profesi yang juga dijamin kemerdekaanya berdasar konstitusi. 

Dalil diatas cukup beralasan, terlepas dari implikasi putusan yang diperdebatkan. Bagaimanapun, advokat yang notabenenya merupakan bagian dari struktur penegak hukum ditegaskan secara konstitusional untuk mendapatkan penjaminan kemandirian secara fungsional sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kekuasan yudikatif. Sebagaimana dipahami, pemikiran perihal kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman mencitrakan prinsip penting dalam dialektika kenegaraan. Dalam konstitusi dan konstitusionalisme Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa kemadirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan kriteria tegaknnya karakter negara hukum. Praktis, tanpa upaya untuk membangun garis demarkasi antara peradilan dan kekuasaan eksekutif dan legislative, maka jaminan hak asasi manusia hanyalah utopia. Olehnya memang penting untuk mengedepankan segala bentuk proteksi terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman dari intersep kekuasaan lain. Setidaknya hal ini disandarkan pada langkah konkrit untuk menjaga agar fungsi penegakan hukum dapat berjalan diatas relnya tanpa tersandung pengaruh kekuasaan lainya. Jika peran advokat menjadi bagian dari tegaknya kekuasaan kehakiman, maka keharusan untuk menjaminkan kemandirian advokat juga wajib dijaga ritme fungsinya. Membangun dan memastikan duduk hukum kemandirian advokat merupakan bentuk lain dari keseriusan negara hukum secara sistematis. 

Agar tidak terjadi konfrontasi kekuasaan dalam tubuh organisasi advokat, aspek perlindungan kemandirian memang perlu diwujudkan. Memisahkan antara bayang-bayang poros kuasa negara dari biduk eksistensi organisasi advokat juga berdiri diatas dalil yang sama ketika larangan untuk rangkap jabatan sebagai pimpinan parpol dimuat dalam pasal 28 ayat (3) UU Advokat. Tidak lain adalah untuk mencegah konflik kepentingan berbalut kekuasaan. Filosofi prinsipnya sama yakni menjauhkan antara potensi intervensi kuasa lain diluar fungsi advokat yang dapat mendestrupsi peran penegakan hukum. Upaya tersebut sejatinya merupakan bentuk keseriusan dari wujud perlindungan peran advokat sebagai struktur penyeimbang fungsi penegakan hukum oleh penegak hukum lain yang berlatar belakang sebagai organ negara. 


Antara Asas Retroaktif dan Sifat Constituief 

Dalam beberapa tulisan sebelumnya telah diulas singkat perihal jenis karakteristik Putusan Pengadilan, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi. In casu, Putusan 183/PUU-XXII/2024 terklasifikasi sebagai putusan inkonstitusional bersyarat yang jika dimaknai diluar atau tidak sesuai dengan tafsir Mahkamah yang mengkualifikasi agar pimpinan organisasi advokat harus non-aktif jika diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, maka normanya menjadi inkonstitusional. Namun dari perspektif karakteristik, putusan aquo tergolong mewakili sifat constitutief vonnis, yakni putusan yang bersifat menciptakan suatu keadaan hukum baru yang mengubah, menghapus, atau menimbulkan hubungan hukum tertentu. Hal ini didasarkan pada adanya struktur pemahaman baru terhadap cangkupan batasan rangkap jabatan pimpinan organisasi advokat. Dalam diorama doktinal, ciri dari putusan yang constitutief tidak saja dideskripsikan sebatas mengubah atau membentuk keadaan hukum status baru. Dalam konteks hukum perdata misalnya, menurut R Soepomo putusan ber-genre ini ini dianggap berciri berlaku langsung dengan kekuatan hukum tetap. Senada dengan pendapat tersebut, Subekti menjelaskan bahwa diantara ciri putusan constitutief tidak memerlukan eksekusi dalam arti pelaksanaan fisik. Apabila demikian, maka putusan 183/PUU-XXII/2024 perihal tafsir makna pasal 28 ayat (3) UU Advokat bukan saja final and binding, tidak saja In kracht van gewijsde, melainkan juga mutatis mutandis mengingat putusan MK merupakan salah satu dimensi materiel dari keberadaan Undang-Undang. J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain mendeksripsikan bahwa mutatis mutandis mengandung arti dengan mengubah hal-hal yang harus diubah". Istilah ini Digunakan dalam konteks hukum untuk menunjukkan bahwa suatu ketentuan dapat diberlakukan pada hal lain dengan penyesuaian yang diperlukan. Artinya, rumusan pasal 28 ayat (3) seketika dapat diberlakukan jika rumusanya disusun dengan penyesuaian terhadap tafsir Mahkamah. Dalil tersebutlah yang dijadikan pijakan untuk menerapkan batasan cakupan makna pasal 28 ayat (3) UU Advokat semenjak diucapkan atau dengan kata lain, Pimpinan Organisasi Advokat yang juga merangkap sebagai pejabat negara (dalam hal ini Wamen) atas dasar prinsip mumtatis mutandis dan sifat putusan constitutief harus mematuhi putusan aquo. 

Namun disisi lain, jika dicermati secara kontekstual dan factual, Wamen tersebut lebih dulu ditunjuk mengemban jabatan tersebut sebelum adanya Putusan aquo. Dalam proposisi ini agaknya prinsip retroaktif dijadikan sebagai dalil untuk menangguhkan kepatuhan terhadap putusan MK 183/PUU-XXII/2024. Dimaknai bahwa retroactive merupakan istilah hukum yang berarti berlaku surut, yaitu berlakunya suatu peraturan, kebijakan, atau putusan hukum terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan tersebut diundangkan atau diberlakukan. Prinsip ini dilimitasi secara keras dalam pendapat doctrinal. Sebut saja Hans Kelsen yang menegaskan bahwa sebuah norma hukum tidak boleh berlaku surut karena prinsip hukum modern menjunjung asas legalitas dimana hukum tidak berlaku terhadap tindakan sebelum hukum itu diundangkan. Lebih fleksibel, Jimly Asshiddiqie mengulas bahwa terdapat pengecualian terhadap pemberlakuan hukum secara retroaktif jika sifat hukum tersebut berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia atau memenuhi keadilan bagi korban. Dalam konstitusi, jaminan untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut dijadikan sebagai elemen utuh Hak Asasi Manusia dalam pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Artinya, untuk keluar dari cengkraman retroactive, perlu didalilkan secara tegas dan kuat perihal ratio legisnya terlebih dulu sebagai pengecualian yang lex stricta. Jika tidak terdapat urgensi yang tegas tersurat dalam putusan MK 183/PUU-XXII/2024 perihal kegentingan kondisi yang dapat melonggarkan atau memberi efek flexibelitas kondisi hukum tertentu, maka putusan aquo sejatinya tidak diberlakukan surut karena larangan konstitusi terhadap retroactive, lebih superior dan sejatinya dipatuhi. 

Olehkarenanya penulis berpendapat bahwa tanpa mengingkari Litis finite hingga res judicata pro veritate habitur, putusan MK 183/PUU-XXII/2024 secara substansi dan filosifis memang sangat sejalan dengan marwah kemandirian advokat. Hanya saja jika dikontekstualisasikan pada fenomena rangkap jabatan Pimpinan salah satu Organisasi Advokat yang telah lebih dulu ditunjuk sebagai WamenKo sebelum adanya Putusan aquo dengan tafsir yang diperluasnya, sungguh menyimpangi asas rektroaktif. Putusan aquo dapat berlaku retroaktif jika dimuat dengan tegas urgensinya dalam putusan sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini mengingat jaminan untuk tidak dituntut dengan ketentuan yang berlaku surut merupakan amanah konstitusi yang digolongkan sebagai elemen hak asasi manusia. Proporsionalnya setiap putusan badan peradilan, termasuk Mahkamah Konstitusi berlaku kedepan, bukan surut, sebab bagaimanapun juga putusan pengadilan merupakan ius dalam dialektika hukum. Olehnya berkepastian hukum tentu akan terejawantahkan dalam substansi putusan dan tidaklah elok jika hukum yang berlaku surut dianggap sejalan dengan prinsip kepastian hukum. (*)

0Comments

Special Ads
Special Ads
Special Ads