TSGoTUr6TpriGpWpGSd0GUdoBA==

Form

Comment

Meneguhkan Peran Lembaga Adat di Era Demokrasi Konstitusional: Kekuatan Kultural atau Anomali Hukum

Posted by:Tanya Hukum


 

Oleh Jamal Aslan

Lembaga adat merupakan salah satu entitas sosial yang memiliki kedudukan historis dan kultural penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai bangsa yang dibangun atas fondasi pluralisme, Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat, hukum adat, serta mekanisme kelembagaan adat yang berkembang jauh sebelum hadirnya negara modern. Lembaga adat berperan sebagai wadah pengelolaan nilai-nilai, norma, dan hukum adat yang hidup dalam masyarakat (living law) dan menjadi sarana pengatur perilaku sosial, pengendali konflik, serta pemelihara harmoni sosial. Dalam konteks hukum Indonesia, posisi lembaga adat menjadi relevan untuk dikaji karena menyangkut hubungan antara hukum adat dengan hukum positif, terutama dalam kerangka sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Dari perspektif historis, lembaga adat telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh sebelum kolonialisme. Masyarakat adat di berbagai daerah memiliki tata cara penyelesaian sengketa sendiri, sistem kepemimpinan, hingga pranata ekonomi berbasis komunal. Hal ini membuktikan bahwa lembaga adat sesungguhnya merupakan bentuk “proto-state institution” yang telah eksis sebelum konsep negara modern diperkenalkan. Namun, dengan hadirnya sistem hukum kolonial Belanda, keberadaan hukum adat dan lembaga adat mengalami subordinasi karena dianggap sebagai hukum masyarakat pribumi yang inferior dibanding hukum Eropa. Warisan kolonial tersebut masih terasa hingga kini, di mana hukum nasional cenderung mengedepankan positivisme dan tertulis, sedangkan hukum adat lebih bersifat lisan, kontekstual, dan berbasis komunitas.


Secara yuridis, pengakuan terhadap lembaga adat dapat ditemukan dalam berbagai ketentuan hukum, misalnya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI. Demikian pula dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan legitimasi pada desa adat untuk menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat setempat. Artinya, secara konstitusional, eksistensi lembaga adat tidak hanya diakui, tetapi juga diberikan ruang untuk berfungsi dalam sistem sosial-politik dan hukum Indonesia.


Dalam perspektif hukum adat, lembaga adat adalah manifestasi dari living law. Hukum adat bukan hanya kumpulan norma, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Seorang tokoh hukum adat terkemuka, Prof. Soepomo, berpendapat bahwa hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang mencerminkan jiwa kolektif dan gotong royong. Sementara Van Vollenhoven, sarjana Belanda yang banyak meneliti hukum adat, menyatakan bahwa hukum adat tersebar di berbagai lingkungan hukum (rechtskringen) dengan karakteristiknya masing-masing. Dengan demikian, lembaga adat menjadi aktor penting dalam menjaga keberlangsungan hukum adat, baik dalam bentuk upacara adat, penyelesaian konflik, maupun pengelolaan sumber daya alam.


Namun, problematika muncul ketika lembaga adat berhadapan dengan hukum positif. Tidak jarang kewenangan lembaga adat dianggap bertentangan dengan sistem hukum formal. Misalnya, dalam kasus penyelesaian sengketa tanah adat, keputusan lembaga adat seringkali tidak mendapat pengakuan formal dari pengadilan negara. Selain itu, ada kecenderungan bahwa lembaga adat dipolitisasi untuk kepentingan praktis tertentu, sehingga mengikis esensi kulturalnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: bagaimana seharusnya posisi lembaga adat ditempatkan dalam sistem hukum Indonesia? Apakah lembaga adat sekadar pelengkap hukum nasional, ataukah ia harus diberi ruang otonomi sejajar dengan hukum negara?


Kajian akademik mengenai lembaga adat tidak bisa dilepaskan dari teori pluralisme hukum (legal pluralism). Teori ini mengakui bahwa dalam suatu masyarakat terdapat lebih dari satu sistem hukum yang hidup berdampingan: hukum negara (state law), hukum adat (customary law), dan hukum agama (religious law). Indonesia adalah contoh nyata dari pluralisme hukum tersebut. Tantangannya adalah bagaimana ketiga sistem hukum ini saling bersinergi dan tidak saling menegasikan. Apabila negara terlalu dominan, maka hukum adat hanya akan menjadi simbol tanpa makna substantif. Sebaliknya, apabila hukum adat diberikan otonomi penuh tanpa integrasi, maka potensi konflik yurisdiksi dapat muncul, terutama dalam masyarakat yang heterogen.


Dalam perspektif politik-hukum Pancasila, pengakuan lembaga adat bukan nostalgia romantik melainkan realisasi sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial. “Keadilan” dalam horizon Indonesia sering bersifat relasional: memulihkan harmoni, tidak sekadar menghitung salah benar formal. Ketika pranata adat menyelesaikan pelanggaran melalui permintaan maaf, ganti kerugian, dan pemulihan relasi, ia memperkaya ekologi keadilan. Tetapi Pancasila yang sama menuntut perikemanusiaan, anti diskriminasi, dan perlindungan terhadap martabat individu pagar bagi romantisasi adat.


Perdebatan “kekuatan kultural” versus “anomali hukum” sering macet karena asumsi bahwa hukum negara dan hukum adat adalah dua kutub yang saling menafikan. Padahal, dalam kerangka co-governance, keduanya bisa bersinergi. Negara menyediakan standar minimum dan kanal koreksi; lembaga adat menyumbangkan kedekatan sosial, pengetahuan lokal, dan legitimasi kultural. Pengalaman peradilan menunjukkan, ketika sengketa-sengketa komunal diberi ruang diselesaikan melalui mekanisme adat yang terdokumentasi, beban perkara turun, kualitas kepatuhan naik karena putusan dirasa adil secara kultural.


Dalam konteks ini, lembaga adat dapat dilihat sebagai pilar kultural dan hukum yang berfungsi menjaga keberlanjutan nilai-nilai lokal sekaligus memperkuat demokrasi partisipatif. Demokrasi yang hanya berbasis institusi formal seringkali gagal menjangkau akar budaya masyarakat. Lembaga adat, dengan kearifan lokalnya, mampu menghadirkan mekanisme musyawarah, penyelesaian konflik secara restoratif, dan menjaga harmoni ekologis, sebagaimana terlihat dalam konsep kearifan lokal pengelolaan hutan adat di berbagai daerah. Dengan kata lain, lembaga adat tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga mitra strategis bagi negara dalam menciptakan keadilan substantif yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.


Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis hendak menegaskan bahwa kajian akademik terhadap lembaga adat sangat penting untuk memahami posisi, peran, dan tantangan lembaga adat dalam sistem hukum Indonesia. Penekanan perlu diberikan pada bagaimana lembaga adat dapat diberi ruang yang proporsional dalam hukum nasional tanpa mengurangi integrasi negara. Lembaga adat bukanlah entitas yang usang, melainkan institusi sosial yang dinamis, yang jika dikelola dengan baik, dapat memperkaya khazanah hukum Indonesia dan memperkuat karakter keadilan sosial Pancasila.


Dari pembahasan panjang mengenai lembaga adat dalam perspektif akademik, dapat ditarik beberapa pokok kesimpulan. 

Pertama, lembaga adat merupakan entitas historis dan kultural yang telah eksis jauh sebelum hadirnya negara modern. Keberadaannya mencerminkan sistem sosial dan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat Indonesia. Keberadaan lembaga adat berakar pada nilai-nilai komunal, musyawarah, keseimbangan kosmis, serta penghormatan pada tradisi. Hal ini membuktikan bahwa lembaga adat adalah bagian integral dari identitas hukum bangsa.


Kedua, secara konstitusional, lembaga adat mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, UU Desa, serta sejumlah regulasi sektoral menegaskan eksistensi masyarakat adat dan lembaga adat sebagai subjek hukum yang sah. Namun, pengakuan formal tersebut seringkali tidak berbanding lurus dengan implementasi di lapangan. Banyak keputusan lembaga adat yang tidak diakui oleh hukum positif, khususnya dalam perkara pertanahan, perdata, maupun pidana adat. Hal ini menimbulkan ketegangan antara hukum adat dan hukum negara.


Ketiga, dalam kerangka pluralisme hukum, lembaga adat seharusnya ditempatkan sebagai mitra hukum negara, bukan subordinat. Hukum negara perlu membuka ruang yang lebih luas bagi hukum adat untuk berfungsi, terutama dalam bidang penyelesaian sengketa berbasis mediasi dan restoratif. Sebaliknya, lembaga adat juga harus mampu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat modern, sehingga tidak terjebak pada romantisme masa lalu. Perlu ada integrasi kreatif antara hukum adat, hukum agama, dan hukum negara agar tercapai keadilan substantif.


Keempat, problematika yang dihadapi lembaga adat bukan hanya persoalan yuridis, tetapi juga politis dan sosiologis. Intervensi kepentingan politik lokal seringkali mengikis independensi lembaga adat. Selain itu, modernisasi dan globalisasi membawa tantangan terhadap keberlanjutan nilai-nilai adat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan hukum yang tidak hanya normatif, tetapi juga kontekstual, yakni yang mampu mengakomodasi dinamika lokal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip negara kesatuan.


Kelima, dalam perspektif pembangunan hukum nasional, lembaga adat memiliki potensi besar sebagai sumber hukum dan inspirasi bagi pembaruan hukum. Konsep-konsep seperti musyawarah mufakat, keadilan restoratif, kearifan ekologis, dan solidaritas komunal adalah nilai-nilai yang dapat memperkaya sistem hukum nasional. Dengan demikian, keberadaan lembaga adat bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga aset strategis untuk membangun hukum Indonesia yang berkeadilan sosial, berakar pada budaya bangsa, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.


Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa penguatan lembaga adat harus menjadi agenda serius dalam pembangunan hukum nasional. Negara tidak boleh hanya berhenti pada pengakuan normatif, tetapi harus mendorong penguatan kelembagaan, pengakuan putusan adat, serta sinergi antara hukum adat dan hukum negara. Dengan cara ini, lembaga adat dapat menjadi fondasi kokoh dalam menjaga identitas bangsa, memperkuat keadilan substantif, serta mewujudkan cita-cita hukum yang berlandaskan Pancasila. Lembaga adat adalah cermin dari jati diri bangsa, dan pengabaian terhadapnya sama dengan mengabaikan akar hukum dan budaya Indonesia sendiri. (*)




0Comments

Special Ads
Special Ads
Special Ads