Dalam Perspektif
Konstitusionalisme
Oleh : Jamal
Aslan
Advokat Di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara
Asas
korkondansi yang terpatri pada Aturan Peralihan Pasal I UUD NRI Tahun 1945
menjadi alas konstitusional penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvS) meskipun Republik telah
kokoh berdiri sebagai negara berdaulat. Terhitung sepanjang 75 Tahun sejak
disahkanya Staatsblad nomor 723 Tahun 1915 WvS bertahan dalam sistem hukum
Indonesia hingga pada tanggal 2 Desember 2023, Negara kita memproduk Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana sendiri yang sejatinya lahir dari rahim perdebatan
akademik yang alot dan cukup panjang. Sebagai materiel law maka KUHP Nasional
membutuhkan instrumen tambahan yang sederajad kedudukan format hukumnya untuk
dapat diimplementasikan. Olehkarena itu, ketika KUHP Nasional telah terbentuk
dengan nafas pembaharuan hukumnya, maka demi kesesuaian sistem dan penegakan
hukum maka hukum pidana fomril juga harus dibentuk. Hal ini cukup berdasar
mengingat hukum materil membutuhkan hukum formil untuk dapat ditegakan.
Ibarat
gayung bersambut, Pemerintah dan DPR mau tak mau sesegara mungkin harus
menyediakan formulasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Layaknya
penyusunan KUHP Nasional, RUU KUHAP juga disertakan sekian banyak pembaharuan
yang dianggap dapat silmutan menguatkan aspek hukum pidana materil. Dengan
semangat penyesuaian dan pembaharuan, perumusan dan penyusunan hingga
konkritisasi Draf RUU KUHAP mulai bergulir dengan sekelumit kontroversi dan
perdebatanya. Diantara hal yang berada pada sirkum perdebatan tersebut ialah
menyangkut perluasan Dominitus Litis Kejaksanaan dalam proses hukum perkara
pidana. Sebut saja pasal 13 ayat (2), yang menerangkan adanya mekanisme
koordinasi, konsultasi dan meminta petunjuk oleh Penyidik kepada Penuntut Umum
dalam Proses Penyidikan, Pasal 15 ayat (1) yang menegaskan bahwa penyidikan
telah rampung, penyidik mengkonsultasikan hasilnya kepada Penuntut Umum untuk
dilakukan pemberkasan. Pembaharuan ini dianggap menyimpangi prinsip
diferensiasi fungsional yang selama ini telah ditetapkan dan menjadi alas hukum
pelibatan unsur penegak hukum lain khususnya Kepolisian dan peran jabatan
Penyidik lainya dalam rangkaian hukum acara pidana. Tak ayal pemberlakukan
Dominitus Litis dianggap sebagai fenomena penumpukan kewenangan penegakan hukum
pidana yang tersentral pada Penuntut Umum yang tidak lain ialah Jaksa.
Alur
analisis doktrinal serta pemikiran membanjiri rencana konstruksi sistem ini.
Berbagai perspektif hukum seakan menjadi pisau bedah untuk menganorasi apakah
skema sedemikian akan memberikan dampak positif terhadap penegakan hukum
pidana. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan memasuki lapangan
doktrinal hukum pidana untuk mengelaborasi. Pada tulisan ini, sudut pandangan
akan lebih condong prinsip dasar ketatanegaraan akan lebih masiv digunakan. Hal
ini tidak terlepas dari kehendak teoretik perihal bagaimana konsep negara hukum
serta keterkaitanya dengan indikator due process of law yang dianggap sebagai
sebuah padanan yang saling terkait. Olehnya, kacamata konstitusionalisme akan
digunakan untuk menerawang korespondensi Dominitus Litis serta Diferensiasi
Fungsional terutama pada indikasi kecenderungan penumpukan kewenangan secara
dominan oleh Penutut Umum dalam prospek penegakan hukum pidana dalam rumusan
RUU KUHAP tersebut.
Substansi Dominitus Litis dan Direfensiasi Fungsional
Sebelum
jauh mengurai pembahasan, kiranya menegaskan substansi dari kedua prinsip
diatas perlu guna merapihkan pendalaman lebih lanjut pada segmen pembahasan
berikutnya. Pada berbagai literatur diilustrasikan bahwa Istilah dominus litis
berasal dari bahasa Latin yang berarti "penguasa perkara" atau
"pemilik perkara".Dalam konteks hukum, dominus litis merujuk pada
pihak yang memiliki kendali utama dalam suatu proses peradilan, terutama dalam
hal pengajuan, pengelolaan, dan penarikan gugatan atau dakwaan. Adresaat norm
(subjek hukum) yang disebut sebagai dominus litis memiliki wewenang untuk
mengajukan, mengendalikan, atau menghentikan suatu perkara sesuai dengan hukum
yang berlaku. Sedangkan dalam telaah terminologis, J. H. J. Hamaker dalam
Judicial Control in Civil Litigation. (1988) menyatakan bahwa dominus litis
adalah pihak yang menentukan jalannya suatu perkara di pengadilan, termasuk
keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan proses hukum. Senada dengan
pandangan tersebut, Marc Ancel menguraikan pada The Accusatory and
Inquisitorial Procedures in Criminal Law. (1965). International Review of Penal
Law bahwa dalam kajian hukum pidana menyebut hakim memiliki peran dominan,
tetapi dalam sistem accusatoir, jaksa sebagai penuntut umum adalah dominus
litis karena ia yang memegang kendali atas penuntutan perkara pidana. Perlu
untuk digaris batasi bahwa berdasarkan pendapat tersebut, Jaksa sudah
diselimuti oleh prinsip dominitus litis, khususnya dalam tahap penuntutan.
Konsep ini bahkan sudah diterapkan sedari konstruksi KUHAP yang ada saat ini.
Implementasi konsep tersebut setidaknya sudah ditemukan pada rumusan 109, pasal
110, pasal 138 ayat (1) serta Pasal 140 ayat (2). Selain dari pada itu,
terdapat juga putusan MK yang lain dalam menguatkan Jaksa selaku Dominus Litis
yang terefleksi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU-XIII/2015
tanggal 11 Januari 2017. Putusan tersebut menegaskan bahwa Penyidik wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut
Umum dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya SPDP. Nampaknya Seirama
dengan konstruksi tersebut, dalam R. v. Metropolitan Police Commissioner, ex
parte Blackburn (1968) menelaah bahwa korespondensi ini menegaskan bahwa
kewenangan jaksa dalam menuntut tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain, kecuali
dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum. Olehnya, dalam hukum pidana,
jaksa penuntut umum (prosecutor) dianggap sebagai dominus litis, karena ia
memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu perkara akan diajukan ke
pengadilan atau tidak sekaligus juga yang akan “bertarung” dan menegakan hasil
pemeriksaan tahap penyidikan dalam skema due process of law.
Kendati
demikian, meskipun dominus litis mendeksripsi kewenangan untuk mengendalikan
proses perkara, pengawasan dari hakim sangat penting. KUHAP dan peraturan
perundang-undangan lain mengatur bahwa hakim berperan untuk menilai kecukupan
dan kebenaran bukti serta memastikan bahwa proses berjalan sesuai dengan asas
keadilan. Dengan demikian, kontrol dominus litis harus selalu berada dalam
koridor prosedur hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Selain itu,
sistem peradilan pidana juga terdiri dari sejumlah subelemen structural yang
turut bersama menunjang proses tersebut. Dalam hal ini, proses penyelidikan dan
penyidikan yang merupakan rangkaian dari keseluruhan prosedur tersebut
melibatkan Kepolisian dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS). Pelibatan
unsur structural lain tersebut disandarkan pada prinsip yang dikenal sebagai Diferensiasi
Fungsional. M. Yahya Harahap dalam Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Penyidikan dan Penuntutan." Jakarta: Sinar Grafika, 2007 menyatakan bahwa
prinsip diferensiasi fungsional diasosiasikan untuk memilah antar kewenangan
kepolisian dan kejaksaan, karena ada mekanisme saling mengawasi antara polisi
sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut umum serta pelaksana putusan
hakim. Hal ini untuk mencegah terjadi penumpukan wewenangan. Singkatnya dapat
diilustrasikan bahwa focus prinsip diferensiasi fungsional adalah menekankan
pembagian tugas dan wewenang secara tegas antara aparat penegak hukum dalam
sistem peradilan pidana. Setiap lembaga, seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan, memiliki fungsi yang terpisah dan sejajar tanpa ada yang lebih
tinggi dari yang lain. Tujuannya adalah menciptakan mekanisme saling mengawasi
(checks and balances) untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dan memastikan
koordinasi yang efektif dalam penegakan hukum. Kekhawatiran terhadap penumpukan
kewenangan dalam kendali proses penegakan hukum pidana sebagaimana substansi
dominius litis ialah abuse of power. Atas dasar itulah skema diferensiasi
fungsional diterapkan. Memisah peran dalam procedural law hukum pidana
menekankan pada pembatasan dengan skema sharing of authority. Anotasinya adalah
jika beberapa pihak berada dalam sebuah rangkaian sistem peradilan pidana
dengan peran masing-masing secara konsolidatif maka substansi tujuan dari due
process of law dapat terwujud secara berimbang. Kekhawatiran penumpukan atau
dominasi masiv kewenangan salah satu pihak ini setidaknya juga senada dengan
prinsip dasar dalam pengelolaan kekuasaan negara yang membayangi idealitas
konsep negara hukum yang luaran dari itu semua tidak lain ialah untuk mencegah
terlanggarnya hak asasi manusia dalam pelaksanaan fungsi negara secara umum,
termasuk kompetensi penegakan hukum.
Konstitusionalisme dan
Relevansinya terhadap Pertentangan Dominus Litis dan Diferensiasi Fungsional.
Sepanjang
konsep negara hukum merebak dalam lapangan dialektika hukum negara, upaya untuk
mencegah kekuasaan absolut menjadi dalil kuat yang menginjeksi proyeksi
pelembagaan fungsi negara melalui keberadaan state organ. Kebimbangan terhadap
fenomena absoultisme kekuasaan memeras pemikiran untuk menciptakan skematisasi
limitasi yang proporsional. Terlalu usang untuk mengulangi gambaran
peng-haram-an monopoli terstruktur kekuasaan sebagaimana diungkapkan oleh Lord
Acton (1834–1902) seorang sejarawan dan politisi Inggris yang terkenal dengan
kritiknya terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dalam suratnya kepada Uskup
Mandell Creighton pada tahun 1887 mengungkapkan pandangan bahwa semakin besar
kekuasaan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula potensi untuk disalahgunakan.
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely", demikian
pungkasnya. Acton juga berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya memberikan
wewenang, tetapi juga membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang. Semakin
besar kekuasaan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula potensi mereka
untuk menyalahgunakannya. Olehnya, kekuasaa tidak ideal jika hanya disematkan
pada satu pihak saja tanpa adanya mekanisme pembagian dengan tujuan
perimbangan. Saling menopang-saling mengawasi merupakan formula yang dianggap
sepadan dalam agenda limitation of authority tersebut.
Pola
semacam itu telah dikenal dalam kaidah hukum negara yang mengilistrasi
pembatasan kuasa pemerintahan serta implementasinya, secara segmentatif, cara
pandang tersebut dikenal dengan istilah Konstitusionalisme. prinsip atau
doktrin menegaskan bahwa pemerintahan harus dijalankan berdasarkan hukum dan
konstitusi yang membatasi kekuasaan serta melindungi hak-hak individu.
Konstitusionalisme memastikan bahwa kekuasaan negara tidak bersifat absolut,
tetapi dikendalikan oleh aturan hukum yang tertulis dalam konstitusi. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia didesktipsikan bahwa frasa “konstitusionalisme”
diartikan sebagai paham pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui
konstitusi. Menurut Carl J Friedrich dalam buku beliau, ”Constitutional
Government and Democracy”, konstitusionalisme mengandung gagasan bahwa
pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat dikenakan beberapa
pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwasanya kekuasaan yang
diselenggarakan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk
memerintah. William G. menelaah bahwa Andrews under constitutionalism, two
types of limitations impinge on government. Power is proscribed and procedures prescribed.
Berdasar pendapat tersebut, formula jaminan dan perlindungan hak individu
dikonkritkan melalui dua dimensi yakni kekuasan yang terbatas dan penetapan
prosedur yang jelas.
Olehnya
perlu untuk dipahami bahwa setiap hukum formil atau hukum acara yang mewakili
karakter hukum procedural sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan protection of
human rights on the procedural system. Korespondensi pemikiran seperti itu
telah berkali diulas oleh Prof. Eddy O.S. Hiariej yang menekankan bahwa hukum
acara pidana bukanlah alat untuk menghukum, melainkan instrumen untuk
melindungi hak asasi manusia (HAM). Dimensi filosofi utama hukum acara pidana
harus berorientasi pada perlindungan HAM dan menghindari kesewenang-wenangan
aparat penegak hukum. Olehnya mengapa lex stricta, lex scripta dan lex certa
membayangi hukum acara pidana. hukum acara pidana harus bersifat resmi dengan
pengaturan yang ketat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa proses peradilan
pidana berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan tidak melanggar
hak-hak individu yang terlibat.jika demikian, maka dalam konteks hukum acara
pidana, pembatasan kekuasaan layaknya yang diidealkan dalam perspektif
konstitusionalisme juga merupakan emelen wajib yang perlu dipertahankan.
Pertempuran pemikiran perihal penguatan dominus litis dan diferensiasi
fungsional seharunya memperhatikan setidaknya dua hal, pertama, pilihan untuk
menegaskan adanya pembatasan kekuasaan dengan maksud mencegah monopolistic
absolute dalam proses hukum acara pidana dan kedua, pilihan untuk menjaminkan
terpenuhinya tujuan dasar hukum acara yang senada dengan tujuan
konstitusionalisme yakni perlindungan hak asasi manusia. Konsistensi untuk
mewujudkan polarisasi kekuasaan yang berimbang dalam distribusi peran dan
kewenangan kelembagaan mestinya dibalut dengan spirit of constitusionalime yang
merupakan nafas utama dalam sendi bernegara hukum. Dalam polemic ini, kepatuhan
terhadap konstitusionalisme dan substansi keberadaan hukum acara dalam dimensi
hukum nasional diuji. Apakah kebijakan politik hukum kita akan teguh pada
prinsip pembatasan kekuasaan berimbang dalam skema check and balances melalui
pelibatan subsistem secara padu dan setara pada skema hukum acara pidana,
ataukah menumpukan dominiasi pengendali procedural law hukum pidana menjadi
tampuk yang dianggap tepat. Yang perlu untuk disadari ialah, bahwa penegakan
hukum ialah bagian dari indicator sebuah tatanan hukum yang ideal sebuah negara
hukum. Maka tentulah tidak revelan jikalau agenda penegakan hukum justru
mengangkangi prinsip konstitusionalisme yang menjiwai pembatasan kekuasaan,
mencegah pemusatan kewenangan serta berpotensi timbulnya abuse of power yang
akan menyasar agenda luhur perlindungan hak asasi manusia pada sebuah negara
hukum (*)
0Comments